1. Islam Sejati
Terdapat di Desa Jatiseeng Kidul Kecamatan Ciledug, dipimpin oleh Bapak
Sanjaya, dia telah meninggal sekira tahun 2008, pengikutnya hanya satu
keluarga. Pokok ajaran lebih kepada berbuat baik terhadap sesama, tidak
mengajarkan pokok-pokok ibadah seperti dalam Islam, tidak melarang atau
menganjurkan orang untuk beribadah.
Aliran ini diketahui tidak berkembang, walau demikian bukan berarti yang
sepaham dengan ajaran ini tidak ada. Banyak pihak yang setuju dengan paham
aliran ini secara individu. Kemungkinan besar aliran kepercayaan seperti ini
merupakan pengembangan dari aliran lain yang lebih dulu ada di daerah Jawa
khususnya Cirebon.
2. Gagak Hitam
Gagak hitam muncul pada tahun 2007 di Ciledug Wetan, Tenjomaya dan beberapa
desa lainnya di Kecamatan Ciledug. Pemimpin dan pengikutnya belum diketahui
hingga sekarang. Mereka diketahui sebagai kumpulan orang-orang yang cenderung
kepada hal-hal mistik atau perdukunan, dan sifatnya sangat rahasia sehingga
sulit dideteksi keberadaannya.
Beberapa kali mereka muncul saat akan melakukan ritual penngobatan terhadap
orang yang kesurupan. Sebagaimana layaknya dukun, mereka tidak menjalankan
ajaran agama bahkan tidak menyukai
agama.
3. Gagak Emas
Muncul di Gebang Mekar tahun 2009, pemimpin dan pengikut belum diketahui.
Hal yang diketahui oleh masyarakat aliran ini tidak mengajarkan sebagaimana
ajaran Islam, lebih mirip ajaran filsafat Jawa. Sekalipun penganjurnya sudah
tidak ada di Gebang Mekar lagi, bukan berarti paham ini mati.
4. Gagak Lumayung
Aliran ini muncul di desa Cisaat Kecamatan Waled sekira tahun 2007.
Pemimpinnya bernama Sudarno dengan pengikut sekitar 10 orang, dan sudah
dibubarkan oleh aparat dan masyarakat. Ajaran tidak sama dengan ajaran Islam,
lebih mementingkan soal-soal yang tidak lebih sepert filsafat orang Jawa.
Kemungkinan ada hubungannya antara Gagak Hitam, Gagak Emas dan Gagak Lumayung
bisa saja terjadi.
5. Ajaran Muhadi-Apla-Ahim
Aliran ini hingga kini tidak jelas namanya, oleh karena dikembangkan oleh
Muhadi (dari desa Tenjomaya), Apla Maula dan Ahim (dari Damar Guna) Kecamatan
Ciledug, kita namakan saja ajaran Muhadi Apla Ahim. Walaupun dalam pergaulan
tidak ada kesan eksklusif, tapi dalam masalah peribadatan mereka memisahkan
diri dari masyarakat Islam lainnya. Cara berpakaian sama layaknya santri di
Jawa.
Kemungkinan ajaran ini berpusat di Bekasi, karena diantara mereka selalu
ada yang pulang dan pergi ke Bekasi dengan alasan bertemu dengan guru dan
berkumpul dengan komunitasnya. Dua daiantara mereka yang sering pergi ke Bekasi
adalah Muhadi dan Sayad, keduanya dari Desa Tenjo Maya.
Sekarang tidak terlihat ada aktivitas yang mencolok, tapi beberapa diantara
mereka masih tetap menjalankan ajarannya dan kerap pergi ke Bekasi.
6. Aliran Eyang Sukma
Muncul di Karang Tengah Kecamatan Karang Sembung pada maret 2010.
diperkenalkan oleh Eyang Sukma, murid terkenalnya bernama Elma dan istrinya
yang bernama Rohilah. Ajarannya diantaranya sholat tidak menghadap qiblat atau
berubah-ubah arah. Pengikutnya mencapai 20 orang. Pernah juga muncul di
Pengarengan (Pangenan)
Berdasarkan informasi dari warga yang pernah berinteraksi dengan
pengikutnya, ajaran aliran ini didasarkan pada ajaran kuno Keraton Kasepuhan
dan Majapahit. Eyang Sukma sudah diusir oleh warga, persoalannya ajaran ini
tidak mati begitu saja.
7. Aliran Sin Lam Ba
Sin Lam Ba, adalah tiga dari huruf Arab. Belum diketahui siapa yang
menyebarkan ajaran ini. Yang diketahui ajaran ini pernah muncul di Kali Meang
(Karang Sembung) dan berasal dari Ender (Pangenan). Sin Lam Ba disebutkan
sebagai singkatan dari Sin untuk Silaturrahmi, Lam untuk Lahir dan Ba untuk
Bathin.
Kemungkinan besar ajarannya sama dengan umumnya ajaran Kejawen, yang hanya
mengajarakan persoalan moral atau etika saja, dan tidak mementingkan ibadah,
bahkan tidak penting tuhan itu ada atau tidak.
8. Aliran Keagungan Ilahi
Pernah dikembangkan oleh Edi Wahid tahun 2005 di Kecamatan Karang Sembung,
dengan murid utamanya edi dan Hasan. Ajarannya lebih mementingkan moral atau
etika pada sesama. Sedangkan dari segi aqidah hanya menekankan soal etika
Ketuhanan, dari segi syari’ah tidak begitu jelas, seperti halnya ajaran Islam.
9. Aliran Sa’i – Saidi
Muncul di Blok Mundu Mesigit Desa Mundu Mesigit (Mundu). Muncul tahun 2007,
dikembangkan oleh seorang lelaki bernama Sa’i, yang didukung oleh kakaknya
bernama Saidi seorang guru agama di sebuah SD di desa Penpen. Pengikutnya juga
ada dari desa Suci. Semuanya ada sekitar 20 orang pengikut.
Pokok-pokok ajarannya diantaranya: Sholat cukup dengan niat, tidak perlu
mengeluarkan zakat, Nabi Muhammad jadi Nabi atas keinginan sendiri, Al Qur’an
karangan Nabi Muhammad sendiri atau bukan Wahyu. Kalau kumpul-kumpul biasanya
sekalian makan-makan. Para pengikut diwajibkan ada setoran dana pada
pemimpinnya.
Sa’i selalu mendakwakan diri sebagai murid dari Habib Luthfi asal
Pekalongan.
10. Walimatullah Kutub Robani
Keterangan tentang aliran ini berdasaran data
tahun 2005, yang ditulis oleh penulis pada 2006. Di Desa Panambangan Kecamatan
Sedong, muncul aliran aneh pimpinan eyang atau Kakek Djakaria, yang mendirikan
padepokan Walimatullah Kutub Robani (WKR). Sikakek ini mengaku telah berumur
300 tahun. Lambang perkumpulan WKR ini adalah burung garuda seperti lambang
negara, bedanya adalah, muka siburung menghadap ke depan, dan tulisan pada pita
yang dicengkeram dengan kukunyapun sedikit berbeda, bunyinya Boenika Toenggal
Ika.Sementara didinding lain terpampang gambar Presiden pertama RI Ir.
Soekarno, dengan latar belakang Banteng dan beberapa bendera merah putih.
Dibagian lain ada gambar naga, juga gambar sejoli kakek tua berjanggut dan
berambut panjang didampingi seorang wanita.
Sikakek berambut panjang hingga kepinggang ini,
menurut penduduk setempat asalnya dari Subang, sebelumnya bermukim di Desa
Gereged Kecamatan Beber. Karena diusir diapun pindah ke Desa Panambangan. Sejak tahun 2003 dia
membangun Padepokan WKR. Pengikut cukup banyak, berasal dari berbagai daerah di
Pulau Jawa, tapi menurut Sekretaris Desa Dadang Sunandar, tidak ada satupun
warga Desanya yang jadi pengikut WKR.
Sikakek yang mengaku pengasuh Soekarno
sejak mereka kecil, menerima murid dari berbagai pemeluk agama. Ajarannya ia
anggap universal, karena semua pemeluk agama boleh masuk. Yang jelas si kakek
ini anti ajaran agama Islam. Ia tak mengajarkan sholat bahkan menentangnya.
Penduduk sekitar hampir tak pernah melihatnya karena ia jarang sekali keluar
dari padepokannya. Penduduk menyebutnya “Kahieuman bangkong”. Artinya Dierami
Kodok, lalu bagaimana ia dikenal orang-orang dari berbagai daerah. Bahkan ada
juga yang datang memakai mobil dinas (plat merah) dan dikawal empat orang
polisi.
Desa Panambangan yang cukup terpencil,
ideal untuk menebarkan racun berbahaya pada aspek-aspek aqidah atau ideologi,
yang berkaitan langsung dengan aspek moral atau Akhlaq, imbasnya adalah
terhadap ketahanan bangsa. Inilah salah satu yang harus ditangani oleh para
pembina desa itu. Pembentukan dan pemunculan berbagai aliran sesat di Indonesia
sebagian besar dilakukan oleh kekuatan eksternal pada konsepsi perang Moderen
(Lihat Serangan Melalui Jalur Theosofi dan Kebatinan), selebihnya dilakukan
sendirian oleh orang Indonesia, tapi tetap dalam koridor pemantauan pihak-pihak
eksternal itu. Oleh karena itu perlu bagi TNI melakukan berbagai peningkatan
kemampuan dan pengkajian terhadap Binsat, Binter dan Bintahwil. Sehubungan
dengan peningkatan kualitas dan kompleksitas serangan yang dibangun oleh lawan.
Mengenai pendiri WKR, baik dari yang
bersangkutan maupun dari pengikutnya, diperoleh data ada dua nama dan dua foto,
namun disebutkan itu adalah satu orang. Pemimpin WKR adalah Pendiri
Pemerintahan Republik dengan nama Djakaria bergelar Mr. Wongso Negoro III Gusti
Achmad Semaun, pendiri pertapaan Macan Putih Indonesia, Padepokan Gunung Lawu, diketahui
: MPR/DPR RI dan Mahkamah Internasional melalui Dewan Keamanan PBB. Alamat asal
Kampung Kiara Pondoh Rt/Rw : 07/03 Kelurahan Ganda Soli Kecamatan Tanjung Siang
Kabupaten Subang. Pada sisi ini ada kesamaan yang serius antara WKR dengan
Negara Sunda Nusantara baik yang ada di Banten Bogor dan Majalengka terlalu
bodoh untuk mengatakan bahwa itu suatu kebetulan.
Sedangkan berdasarkan data yang
juga dipegang pengikutnya, nama pemimpin
WKR adalah Djakaria Bin Sachmat, Blok Cikawung Rt/Rw: 04/03 Panambangan, Sedong
Kabupaten Cirebon, dan masuk ke Sedong tahun 2001. Menurut Sekdes Panambangan
mereka masuk tahun 2003, dan menurut pengikutnya, yang juga otak gerakannya
yaitu Mulyono, asal desa Manis Kidul Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan,
mereka masuk ke sana tahun 2005 , Mulyono adalah wartawan yang tergabung dalam
HIPSI tapi tak punya Media, dan selalu mengaku dari Surat Kabar Cakrawala
Jakarta.(kelak melalui Mulyono, wartawan Cakrawala dari Kuningan Suherman MD,
memuat WKR dikoran tersebut tanggal 20 Maret 2006).
Djakaria kedua ini masuk ke desa
Panambangan dan mendapatkan KTP secara Naturalisasi tahun 2003, dengan nama
Darsa, diketahui kemudian nama Darsa adalah anaknya dari istri terdahulunya ,
selain istri dari desa Gereged Beber. Juga terungkap setelah diusir dari
Gereged (Beber) dia masuk ke Desa Ciawi Gajah lebih dulu, dan mendapatkan hal
yang sama seperti di Gereged, dia diusir. Dengan bekal pengalaman yang tidak
enak itu, maka saat masuk ke desa Panambangan dia mengubah Strategis, dengan cara pendekatan menyawer
pemuda setempat dan melobi aparat desa supaya keberadaannya mendapat jaminan
keamanan. Terbukti kemudian, walau mereka sudah lama disana tak dipersoalkan
siapapun, hal ini juga tidak terlepas dari peranan aktor intelektualnya yang
punya cukup pengaruh yakni Ahmad Efendi, dia disebutkan adalah Kepala Seksi
Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kabupaten Kuningan, tapi Mulyono mengatakan dia
adalah orang penting di Disnakertrans Kabupaten
Kuningan.
Dalam komunikasi dengan surat, WKR
menggunakan kop: Padepokan Walimatulloh Kutub Robani Tjirebon-Djawa Barat.
Dengan lambang Bola Dunia disangga dengan dua telapak tangan, di tengah Bola
Dunia itu terdapat lambang tiga segi tiga Zion bertumpuk.Tapi lambang yang
tertera pada setempel adalah Burung Garuda seperti lambang negara dengan muka
lurus kedepan. Dan ditanda tangani oleh nama S.Djakaria Semaun Kertanegara.
Berdasarkan asal Djakaria, intelijen mengungkapkan daerahnya adalah basis
Komunis. Ini adalah satu bentuk metamorfose Komunis melalui jalur gerakan
kebatinan atau teosofi, berdasarkan dua lambang perpaduan tesa dan sintesa,
gerakan itu punya hubungan dengan Zionisme.
Informasi terakhir tahun 2009 menyebutkan, Eyang Djakaria lari ke Ciamis,
setelah pada tahun 2006 keberadaannya merasa terganggu di Panambangan, Sedong.
Di tempat barunya ini dia juga berusaha menyebarkan keyakinannya.
Ditulis oleh: Omi Busytomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar