Dakwah
memiliki makna sebagai upaya menyampaikan ajaran yang diyakini kebenarannya
tentang hakikat hidup serta perilaku hidup yang semestinya dilakukan sejalan
dengan ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw. dan diestafet
oleh para sahabat, tabi’in, atba’uttabi’in serta para ulama yang sampai saat
ini masih melaksanakan dakwah baik secara lisan maupun perilaku tauladan
(bil-hal).
Sebenarnya
apabila kita fahami bersama bahwa peran dakwah ini merupakan kewajiban setiap
muslim dimanapun berada dengan melepaskan kedudukan serta jabatan yang ia
emban. Adapun pesantren dan kyainya adalah institusi yang memiliki peran
sebagai salah satu sumber informasi tentang kebenaran ajaran. Karena itulah
kemudian para santrinya berkewajiban menjadi mediator untuk melanjutkan dan
menyebarkan ilmunya menjadi suatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Dengan
demikian keberadaan pesantren sebenarnya memiliki peran penting untuk tetap
menjaga keberadaan agama, ilmu serta amal setiap manusia untuk senantiasa
berada di jalan Allah Swt..
Namun
ada pertanyaan yang sangat menarik hari ini dari beberapa kenyataan yang
menghawatirkan tentang peran dakwah, bahwa seolah agama tidak memiliki peran
yang begitu besar sehingga manusia Indonesia hari ini sudah tidak lagi memiliki
ketabuan terhadap perilakunya. Banyaknya kasus yang diangkat berkaitan dengan
kriminalitas, mulai dari korupsi, perampokan, pemerkosaan, pemakaian narkoba,
penyebaran VCD porno bahkan penghilangan nyawa manusia semudah orang menyembelih
ayam.
Sepertinya
pendekatan dakwah kurang menyentuh pada hal-hal substansial namun lebih pada
bentuk-bentuk budaya local dimana Islam diturunkan, yaitu bentuk-bentuk simbol
budaya arab sementara essensi yang semestinya disentuh menjadi kurang terperhatikan.
Sebagaimana
kita baca dalam sejarah berbagai rintangan dan tantangan selalu dihadapi dalam
berdakwah. Rasul Saw. sebagai pengemban amanat tersebut tidak secara tenang
menghadapi kenyataan saat itu. Tantangan yang mengharuskan beliau mempertaruhkan
nyawa berkali-kali ia hadapi, adalah pelajaran berarti dalam melaksanakan
dakwah.
Sebagaimana
kita fahami pula bahwa Rasul Saw. senantiasa ditemani para sahabatnya dalam
menyusun strategi dakwah sehingga terkadang harus melakukan perang.
Keterlibatan para sahabat saat itu sangat memberi arti penting dalam dakwahnya,
baik secara moril maupun materiel bahu membahu menyusun strategi selama 23
tahun menyebarkan ajaran Islam.
Dari
gambaran di atas yang perlu kita fahami bersama adalah peran utama menentukan
strategi dalam berdakwah sehingga mampu memberikan makna sesungguhnya tentang
Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Strategi dakwah tentu saja tidak bisa lepas
dari adanya keterlibatan banyak orang di dalamnya. Hal ini merupakan suatu
tugas utama bagi setiap muslim untuk menempatkan diri sebagaimana mestinya
dengan peran dan kemampuan yang dimilikinya.
Pemikiran
untuk bersatu, hari ini lebih sempit dimaknai ke dalam sisi materialistik,
kaum-kaum tertentu yang kurang mampu memberi kontribusi financial seolah tidak
pernah memiliki peran dalam mengembangkan agama, terkadang agama sering
dijadikan kendaraan kepentingan kelompok dalam mendorong gagasannya.
Umatan
wasathon seyogyanya dimaknai sebagai keterlibatan seluruh umat dalam peran
dakwah, berdakwah lebih dapat dirasakan sebagai suatu tradisi yang membudaya
dalam suatu lingkungan.
Beberapa
kenyataan yang ada dimana pola dakwah mencoba memisahkan kultur budaya dari
segmen dakwah, sehingga yang terjadi adalah penolakan secara kultural terhadap
agama sebagai imbas kekakuan dakwah yang dilakukan. Akhirnya umat sendiri
seolah menjadi takut untuk mengakui hidupnya beragama. Perlawanan social ini
akhirnya muncul faham sekuler yang melepaskan nilai-nilai agama yang “kaku”
dalam aktivitas hariannya.
II.
NILAI FILOSOFIS MENGENAI PERAN DAN TUGAS BERDAKWAH
Sebelum
membahas mengenai peran penting strategi, mari kita fahami beberapa nilai
filosofis tentang peran dan tugas berdakwah diantaranya:
1. Tujuan Hidup Manusia di Muka Bumi
Titik
persoalan yang merupakan awal keberangkatan manusia yang patut dipelajari bahwa
kehidupan manusia di dunia hakekatnya melanjutkan visi dan misi kehidupann Nabi
Adam AS yang awal keberadaannya di surga digugat Iblis dengan alasan pemberian
kemuliaan terhadap Adam AS dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui proses uji
kelayakan kemuliaan yang semestinya. Hingga keberadaan Iblis sebagai penggoda
kepada setiap manusia adalah dinamika hidup yang tidak bisa lepas dalam peran
dan tugas berdakwah manusia sepanjang masa.
Dari
sinilah kemudian cerita manusia di alam fana ini dimulai, setelah Iblis
berhasil menggoda, Adam dan Hawa’ berikut keturunannya menjalani uji kelayakan
kemuliaan di alam dunia dengan ketentuan; Bagi keturunan Adam-Hawa yang
berhasil mempertahankan kemuliaan berhak kembali ke “Alam Mulia” sementara bagi
yang tidak berhasil akan hidup bersama Iblis di alam yang lebih hina dari dunia
ini. Dengan demikian tujuan hidup manusia di muka bumi adalah: Mempertahankan
kemuliaan untuk dapat kembali ke “Alam Mulia”.
Janji
Allah Swt. kepada Nabi Adam AS akan mengutus para rasul beserta kitab suci
telah ditepati. Dan Rasul terakhir dengan Al-Qur’an-nya telah diutus 14 abad
silam dan umat manusia sekarang hidup di abad ke XV Hijriyah sebagai umat Nabi
Muhammad Saw.. Agama bagi manusia merupakan lambang-lambang kemuliaan, petunjuk
jalan kembali ke “Alam Mulia” sekaligus berfungsi sebagai perisai dari serangan
yang menghancurkan.
Segala
yang dialami manusia selama hidup di dunia; kaya atau miskin, menjabat atau
tidak, sehat atau sakit dan seterusnya, merupakan agenda ujian yang ditinggal
mati sementara yang dibawa hanylah kesuksesan atau kegagalan dalam menjaga
kemuliaannya ketika menyikapi agenda-agenda tersebut, sehingga segala upaya
peningkatan tarap hidup sebenarnya hanya dalam rangka pencapaian sarana dan
bukan tujuan hidup. Maka dari itu, aneka program pembangunan yang dilakukan
baik oleh pemerintah atau umat hendaknya selalu dalam koridor kemuliaan; mulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai kepada tahap keberhasilannya.
2. Manusia Sebagai Abdun dan Kholifah
Selanjutnya
dalam menjalani hidupnya ada dua peran penting yang dimiliki oleh setiap
manusia, peran strategis tersebut tidak dapat lepas dari agenda Allah Swt.
menguji kelayakan setiap manusia sebagai mahluk yang paling dimuliakan.
a.
Peran Pertama Manusia
Sebagai Abdun
Allah
Swt. adalah Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam ini, sementara manusia sebagai
salah satu mahluk ciptaan yang dimiliki dan diatur oleh-Nya. Sehingga posisi
manusia di hadapan Tuhan sebagai ‘abdun (hamba) haruslah merelakan kehilangan
hak kepemilikan atas dirinya.
Keadaan
yang demikian mengharuskan setiap manusia senantiasa tunduk dan patuh kepada
segala aturan-Nya, melaksanakan segala bentuk perintah-Nya, menjauhi hal-hal
yang dilarangan oleh-Nya, senantiasa bersyukur atas apa yang telah diberikan
oleh-Nya serta bersikap rela atas setiap ketentuan-Nya terutama jika apa yang
sudah diberikan suatu saat Allah Swt. mengambilnya kembali.
Posisi
‘abdun disamping diperankan dalam hal vertikal (hablun min-Allah) yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan-nya juga diperankan dalam menghadapi agenda yang
sedang terjadi atas dirinya dengan mensyukuri nikmat yang diterima dan sabar
terhadap musibah yang terjadi.
b.
Peran Kedua Manusia Sebagai
Khalifah
Selain
peran abdun manusia diangkat oleh Allah Swt. untuk menjabat sebagai khalifah
(wakil Allah) di muka bumi yang memiliki tugas dan wewenang untuk senantiasa
memakmurkan kehidupan dunia.
وَإِذْ قاَلَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ
خَلِيْفَةً - كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (متفق
عليه)
Posisi
khalifah diperankan selain dalam hal horisontal (hablun min-annas) yaitu
hubungan manusia dengan sesama mahluk (manusia, alam lingkungan dan binatang)
juga diperankan dalam menghadapi agenda kehidupan yang belum dan mungkin akan
terjadi dengan mengantisipasinya melalui berbagai upaya sehingga kehidupannya
menjadi makmur dan sejahtera.
3. Batasan Wilayah Wewenang Tuhan Dan Wewenang
Manusia
Dalam
optimalisasi peran dakwah terdapat batasan wewenang manusia, hal tersebut bukan
berarti menyurutkan semangat dakwah yang dilakukan. Sebagaimana Allah Swt.
mewajibkan kepada Rasul Saw. untuk berdakwah, namun disisi lain Allah Swt.
menegur untuk tidak putus asa atas hasil yang didapatkan dari upaya-upaya
dakwah yang telah dilakukan. Pembagian ruang wilayah antara wewenang manusia
dengan wewenang Tuhan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
WEWENANG MANUSIA
|
WEWENANG TUHAN
|
DO’A
|
IJABAH
|
USAHA
|
HASIL
|
BELAJAR
|
FAHAM
|
AMAL
|
NILAI
|
DOSA
|
AMPUNAN
|
SAKIT
|
KESEMBUHAN
|
DAKWAH
|
HIDAYAH
|
Batasan-batasan
tersebut itulah yang kemudian menghubungkan antara wewenang ihtiar bagi setiap
manusia terutama dalam berdakwah dengan sikap tawakal dan legowo atas segala
bentuk hasil usaha dakwahnya.
4. Ibadah Vertikal dan Ibadah Horisontal/Amal Shaleh
Sosial
Ilmu
Fiqih hakekatnya untuk mengetahui keabsahan (sah atau batal) amal ibadah yang
dilakukan oleh seorang mu’min, bila semua syarat dan rukunnya dipenuhi maka
menurut standar Fiqih amal tersebut berarti sah.
Tidak
sedikit amal ibadah yang menurut standar Fiqih sah, namun karena niatnya yang
salah atau ia melakukan sesuatu yang melanggar norma agama yang berkaitan
dengan sesama (horisontal) -seperti durhaka kepada orang tua,
menyakiti/merugikan sesama, mengambil harta orang tanpa hak- Allah Swt. enggan
menerima amalnya dengan tidak mendapatkan nilai pahala. Sebagai contoh :
a. Dinyatakan dalam hadits bahwa Allah Swt tidak menerima sholat orang yang
memutuskan hubungan silaturahim, durhaka kepada orang tua dan orang yang
membawa kabur harta majikannya/korupsi.
ثَلاَثٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَتَهُمْ, قَاطِعُ الرَّحْمِ وَعَاقٌ لِوَالِدَيْهِ
وَعَبْدٌ آبِقٌ
إِذَا أَبَقَ الْعَبْدُ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ (رواه
مسلم)
b. Puasa hanya menghasilkan haus dan lapar (tidak berpahala) bila ketika
berpuasa melakukan perbuatan yang merugikan atau menyakitkan sesama.
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ
وَ الْعَطَشُ
c. Perkataan yang menyakiti penerima shodaqoh menghanguskan pahalanya.
لاَ تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَ اْلأَذَى
d. Syarat mendapat haji mabrur disamping biaya dari sumber yang bersih,
adalah tidak melakukan rofas, fusuk, dan jidal (bertengkar dengan sesama/horisontal)
ketika melaksanakan ibadah haji.
فَلاَ رَفَثَ وَ لاَ فُسُوْقَ وَ لاَ جِدَالَ فِى الْحَجِّ
e. Surga anak di bawah telapak kaki ibu sehingga mustahil bisa menggapai
keridloan Allah Swt. dengan durhaka kepada orang tua. Begitu pula seorang istri
kepada suami dan seorang pegawai kepada instansinya.
الْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ
الْجَنَّةَ
Dengan
demikian ibadah vertikal dan ibadah harisontal/amal shaleh sosial merupakan
kesatuan yang tidak terpisah, amal shaleh sosial merupakan penentu diterima
atau ditolaknya ibadah vertikal disamping berfungsi sebagai penyempurnanya,
begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya
dalam rangka menjaga kemuliaan untuk dapat kembali ke “Alam Mulia” Allah Swt.
memberi tuntunan seperti yang tertuang dalam hadits; Tidak satu pun - termasuk
Rasul Saw. - mampu membeli surga dengan nilai ibadahnya semata di alam dunia,
satu-satunya penentu untuk dapat masuk ke surga adalah rahmat dan kasih sayang
Allah Swt. yang disubsidikan kepada nilai ibadah vertikal dan horisontalnya
(amal shaleh sosial).
لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُكُم الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ قَالُوْا وَلاَ
أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: وَ لاَ أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللهُ بِرَحْمَتِهِ
Dalam
hadits lain diungkapkan bahwa; Ada seseorang yang berupaya membeli surga dengan
akumulasi nilai amal ibadahnya selama 500 tahun dan setelah diaudit ternyata
nilai ibadahnya hanya cukup untuk menebus nikmat salah satu matanya yang telah
dipakai selama hidup di alam dunia. Jadi, jangankan untuk membeli surga, untuk
menyewa seluruh nikmat yang pernah dipakai selama hidup di alam dunia saja
nilai ibadah selama 500 tahun tersebut tidak akan mencukupinya, sehingga nilai
ibadah siapapun termasuk Rasul Saw. sendiri tidak akan mencukupi nilai yang
diperlukan untuk masuk ke surga.
Dan
ternyata menurut hadits bahwa surga terdiri dari berbagai tingkatan/derajat,
derajat tertinggi bukan diperuntukkan bagi orang yang terbanyak nilai ibadah
vertikalnya tetapi - sesuai dengan keunggulan ibadah horisontal/amal shaleh
sosial - diperuntukkan bagi orang yang terbanyak melakukan keshalehan sosial
dan terbaik akhlaknya terhadap sesama. Dengan demikian, amal shaleh sosial
adalah merupakan cara dan jalan untuk dapat mencapai ketinggian derajat di
dunia maupun di akhirat.
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ
خُلْقُهُ (رواه ابو داود)
إِنَّ مِنْ اَحَبِّكُمْ اِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَحَاسِنُكُمْ اَخْلاَقًا (رواه الترمدي)
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكَ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الْقَائِمِ
(رواه ابو داود)
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا (رواه
الترمدي)
مَا مِنْ شَيْءٍ اَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
(رواه الترمدي)
Terjemahan
kontekstual hadits di atas menunjukkan bahwa حُسْنُ الْخُلُقِ adalah “etika baik” terhadap sesama yang
diaplikasikan dalam amal shaleh sosial yang dapat dimisalkan dengan tolong
menolong, saling peduli, silih-asah, silih-asih dan silih-asuh dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Melalui
ibadah vertikal seseorang mendapat manfaat dan nilai pahala sebatas untuk
dirinya sendiri, sementara melalui ibadah horisontal manusia akan mendapat
nilai pahala sebanyak orang yang terlibat dan memperoleh manfaat darinya.
Siapapun yang melakukan amal shaleh sosial dan diikuti serta dirasakan
manfaatnya oleh orang banyak -apalagi menjadi sebuah tradisi dan budaya- maka
dia mendapatkan nilai pahala sebanyak orang yang melakukan tradisi dan budaya
tersebut sampai hari kemudian.
III.
METODE DAKWAH
1.
Dakwah Bil-lisan
Sarana
komunikasi yang semakin mempermudah mengakses segala bentuk informasi yang
diinginkan termasuk diantarnya informasi menyangkut agama. Dengan kemajuan
teknologi tersebut, dakwah bil-lisan tidak dapat didefinisikan secara manual
melalui mimbar podium di depan hadirin, melainkan bisa disampaikan melalui
berbagai media yang essensinya tetap sebagai cerminan dakwah bil-lisan.
Di
samping melalui media radio dan televisi, informasi dapat diakses melalui HP
atau internet serta banyak pula dilakukan dengan menggunakan media cetak baik
buku, koran, majalah maupun buletin. Kemajuan teknologi merupakan suatu peluang
sekaligus tantangan dalam pelaksanaan dakwah dewasa ini, mengingat peran
teknologi tersebut selain sebagai penunjang terhadap upaya manusia untuk
mempermudah aktivitasnya dapat pula sebagai sebuah sarana yang melahirkan
dampak negatif yang berpengaruh terhadap pola pikir yang berdampak pada
perubahan kultur budaya.
Tantangan
yang ada tersebut haruslah ditanggapi dengan berbagai upaya antisipatif
sehingga keberadaan teknologi tersebut justru dapat benar-benar dimanfaatkan
untuk peningkatan kualitas peran dan fungsi dakwah.
2.
Dakwah Bil-hal
Dakwah
yang efektif telah dilaksanakan oleh Rasul Saw. dimana beliau lebih
mengedepankan ketauladanan dalam mensosialisasikan norma-norma agama.
Pendekatan perilaku yang dilakukan Rasul Saw. sangat efektif dalam membangun
militansi gerakan para sahabat untuk melakukan perubahan terhadap pola pikir
serta kebiasaan mereka dan dalam jangka dua dasa warsa mampu menyebarkan Islam sampai
ke penjuru dunia.
Dakwah
bil-hal sebenarnya adalah cara yang paling efektif mengingat manusia senantiasa
mencari contoh figur ketauladanan. Dakwah bil-hal lebih mengutamakan bagaimana
memberikan tauladan kepada umat tentang apa yang sebenarnya harus dan atau
tidak boleh dilakukan sebagaimana Rasul Saw. lakukan, beliau tidak pernah
memerintahkan sesuatu yang harus diperbuat kecuali belaiau sendiri yang
melasanakannya terlebih dahulu sehingga menjadi contoh tauladan bagi umatnya.
Dalam
kontek kekinian, di era globalisasi dan era informasi siapapun bisa melakukan
dakwah, dan sering kita dapatkan ternyata dakwah tersebut cenderung
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan suatu kepentingan,
dimana menuntut kita untuk lebih waspada terhadap gejala dan realita seperti
ini dengan upaya-upaya antisipatif melalui pengembangan strategi dakwah.
Strategi yang dimaksud adanya keseimbangan antara kemampuan da’i, metode dan
sarana, baik dakwah bil-lisan maupun dakwah bil-hal.
a.
Keseimbangan Antara
Media/Sarana dan Metode
Pada
umumnya, kelemahan seorang da’i terletak pada ketidak mampuan di dalam
menggunakan sarana yang sebenarnya mendukung kinerja dakwahnya, misalnya
kemampuan menggunakan fasilitas computer serta sarana komunikasi. Kekurangan
sarana senantiasa menjadi alasan bagi lemahnya dakwah yang dilaksanakan atau
sebaliknya ketersediaan fasilitas sarana tidak menjamin optimalnya dakwah yang
dilakukan sebagai akibat dari kekurangmampuan dalam menggunakan sarana tersebut.
Dalam
hal ini seorang da’i harus memiliki kecerdikan dalam mengatur serta
menyesuaikan kondisi umat terutama factor kultur budaya. Pendekatan dalam
dakwah bil-hal dengan contoh suri tauladan tidaklah semudah dakwah bil-lisan
dengan berceramah.
Berbagai
contoh dakwah dari berbagai literature sejarah, mulai dari Rasul Saw. sampai
pada masuknya Islam di Indonesia, kita mendapatkan ragam pendekatan yang
dilakukan oleh wali sanga yang menitik beratkan pada keniscayaan perbedaan
kultur budaya.
b.
Wawasan Tentang Kemajuan
Jaman
Disamping
cerdik dalam membaca realitas social, tugas dakwah juga menuntut wawasan da’i
dalam memahami kemajuan jamannya. Dalam hal ini da’i seringkali terjebak oleh
adanya kekakuan sikap dan kekurangberdayaan akibat lemahnya wawasan dan kemampuan
membaca kemajuan dan perubahan jaman.
Tuntutan
dari meningkatnya pola pikir rasional umat terhadap berbagai fenomena yang
dihadapinya, harus ditanggapi oleh seorang da’i dengan wawasan jaman serta
dengan segala keterbukaan dan lapang dada. “laksana karang menahan ombak,
seseorang harus tegap supaya tidak tergerus ombak perubahan jaman”.
Tidak
jarang lemahnya pemahaman terhadap kemajuan jaman ini da’i lebih memilih
menghindar serta berteriak dari kejauhan, tatkala fenomena yang muncul menuntut
keberadaan seorang da’i justru meninggalkannya, sehingga wajar apabila umat
menurunkan tingkat kepercayaannya terhadap keberadaan tokoh agama, terlebih hal
yang menyedihkan adalah adanya praktek politisasi agama yang dilakukan oleh
sebagian para da’i.
IV.
KESIMPULAN
Sebagai
sosok panutan yang senantiasa waktunya dicurahkan sebagai dambaan umat, seorang
da’i dituntut memiliki:
1. Kecerdasan berpolitik tapi bukan politisi, maksudnya bahwa setiap da’i
dituntut untuk tampil di arena umat yang terbangun di antara hiruk pikuk
perseteruan politik, sehingga kemampuan yang dimilikinya tersebut dapat
membendung arus pergesekan kepentingan politik.
2. Kecerdikan analisis social, merupakan senjata utama yang akan mendorong
lahirnya metode dakwah yang tepat untuk dilakukan. Dengan kemampuan analisis
sosial maka seorang da’i akan secara objektif menilai kondisi masyarakat yang
dihadapinya sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh issu yang berkembang.
3. Ketangguhan mental; Serangan-serangan yang dilakukan terhadap pemuka
agama biasanya berupa rayuan atau fitnah. Bagi seorang da’i hendaknya tidak
mudah terpancing emosinya dan tetap memiliki rasa percaya diri yang tinggi agar
tidak terhanyut oleh arus rayuan dan fitnah yang mengakibatkan kebingungan umat.
4. Kemampuan manajerial; yaitu adanya pola kesadaran keteraturan perencanaan
yang metuntut da’i senantiasa memantau setiap gejala dan perkembangan umat
untuk dikelola dengan dakwah yang sistemik, bertahap dan berkesinambungan.
5. Pemahaman da’i terhadap sistem dan peraturan yang berkembang di jamannya.
Seorang da’i dituntut untuk memahami setiap aturan main dan aspek kebijakan
yang sedang berjalan baik cultural masyarakat maupun structural pemerintah,
sehingga persoalan-persoalan kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang selama ini
seolah lepas dari essensi dakwah sering berakibat pada ketidaksiapan atau
keterlambatan da’i dalam merespon fenomena sosial.
6. Ketegasan bersikap; Bahwa kompleksitas wilayah dakwah sesuai dengan
kompleksitas permasalahan masyarakat. Permasalahan tesebut menuntut da’i untuk
bersikap tegas yang berpengaruh kepada perilaku umat. Untuk itu rasa percaya
diri dan ketegasan seorang da’i untuk segera berani menentukan sikap adalah hal
penting dalam melaksanakan dakwah.
Menilik fenomena social yang muncul dewasa ini
berkaitan dengan eksistensi serta peran dakwah, dapatlah ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Da’i dan umat adalah satu keterkaitan sistem yang tidak dapat dipisahkan
mengingat keterikatan moral di antara keduanya, sehingga peran strategis akan
sangat menentukan lahirnya peradaban yang berbasiskan pada keshalehan social
sejalan dengan pola pembangunan negara dengan berbagai kepentingannya.
2. Sebagai figur tauladan, da’i dituntut memiliki kemampuan optimal
menyangkut kondisi masyarakatnya untuk dapat mengimbangi fenomena yang terjadi
yang cenderung meningkat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya
3. Da’i tidak boleh kaku dalam menentukan pendekatan dakwah, mengingat
dakwah bil-hal dan bil-lisan merupakan pola yang harus dilakukan sehingga
pilihan tidak bisa dijatuhkan hanya kepada salah satunya saja dan ini menuntut
da’i sebagai sosok yang multi fungsi serta multi daya. Wallahu a’lam bi al shawab.
Oleh: Thantowie Musaddad, MA.
BalasHapusYUK ! GABUNG BERSAMA KOMUNITAS VIPBandarQ
Semua Bisa Anda Dapatkan di VIPBandarQ
Kami Menyediakan Promo dan Bonus Menarik Untuk Anda Semua
8 GAMES DALAM 1 USER ID
BANDARQ | ADUQ | DOMINO99 | POKER | BANDAR POKER | CAPSA SUSUN | SAKONG | BANDAR66
BIG & HOT PROMO !
- Bonus Rollingan 0,3 % -
- Bonus Referral Up To 15 % -
Manjakan Diri Anda Dengan Fasilitas Termewah :
- Pelayanan Customer Service yang Ramah dan Professional serta Siap Membantu 24 Jam
- Proses Deposit dan Withdraw Super Cepat
- 100 % Fair Play (Player vs Player , No Robot)
- Withdraw Tanpa Batas
Di Support 5 Bank Terbesar dan Ternama
• BCA
• MANDIRI
• BNI
• BRI
• DANAMON
CONTACT US :
BBM : 55AB0E6C
Line : vvipbandarq
WhatsApp : +6285327913041
Skype : VIP Bandar Q
Instagram : vipbandarq9
Twitter : VIP_bandarQ
Your Number #1 BandarQ Online Indonesia
LINK ALTERNATIF :
- vipbandarq.biz
- vipbandarq.org
- vipbandarqq.net