DEMOKRASI NUSANTARA - AL-MA'UNAH KEPUH

KEPUH - PALIMANAN - CIREBON

Jl. Ki Ageng Tepak Ds. Kepuh Kec. Palimanan Kab. Cirebon Kode Pos 45161 Telp. (0231) 341780

test

Minggu, 04 Februari 2018

DEMOKRASI NUSANTARA


Pengaruh Dinamika Budaya Dan Teknologi Pada Evolusi Demokrasi di Indonesia
Oleh : Khaerul Anam


Agama, Budaya dan pemerintahan merupakan tiga elemen yang menentukan pola kehidupan manusia  secara dasar. Ketiga elemen tersebut terbentuk secara alami sebagai fitrah atau pemberian Tuhan yang terwujud dalam ideologi dan kreasi manusia dari zaman ke zaman. Berdasarkan sejumlah redaksi yang beredar, terdapat berbagai macam versi tentang awal mula sejarah umat manusia. Salah satu sumber yang populer mengatakan bahwa manusia pertama adalah seseorang bernama Adam. Yang setelahnya, mulai terbentuk ketiga elemen tadi pada bentuk yang paling sederhana.

Agama dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan aturan bersumber keyakinan yang memiliki ruang lingkup paling sempit. Agama mengajarkan aturan – aturan dasar kehidupan manusia sebagai makhluk berakal dan memiliki kesadaran (consciousness). Pada titik ini, manusia menjadi makhluk yang paling unggul di muka bumi, sehingga dalam pola kehidupannya pun manusia mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan yang dimilikinya. Kesadaran ini pula yang akhirnya menuntun manusia menciptakan berbagai macam kreasi dalam berbagai bentuk yang secara bertahap menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi budaya (culture) bagi manusia lain. 
 Selain agama yang mengatur hubungan vertikal manusia, dibutuhkan pula aturan yang mengatur kehidupan antar manusia sebagai individu. Salah satu aturan tersebut tertuang dalam bentuk budaya yang dianut sekelompok manusia yang disebut masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor bahwa Budaya ialah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat”. Sehingga secara alamiah budaya mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah kesepakatan tidak tertulis yang dikenal sebagai norma. Selain itu, budaya juga berperan dalam pembentukan pola kehidupan manusia yang berubah   dari waktu ke waktu dan tercatat sejarah melalui peninggalan bukti – bukti peradaban.
Membahas budaya dari sisi aturan masyarakat, budaya masih memiliki banyak kekurangan dalam menjamin tersedianya keamanan dan ketentraman masyarakat yang lebih luas dalam wadah negara. Saat masyarakat dari berbagai kebudayaan dan agama yang berbeda berkumpul menjadi satu masyarakat baru, seringkali timbul konflik – konflik kepentingan yang perlu di selesaikan melalui aturan baru yang lebih modern. Disinilah lahir benih – benih pemerintahan awal dengan konsep monarki. Pemerintahan monarki ini memadukan bentuk pemerintahan dengan aturan agama dalam langkahnya memberikan kemaslahatan bagi masyarakat yang bernanung dibawah kekuasaannya.
Menurut H. A. Brasz pemerintahan merupakan ilmu yang mempelajari teknis atau pun cara lembaga umum disusun dan difungsikan dengan baik secara intern dan ekstern terhadap warga negaranya. Berbeda dengan budaya yang berawal dari subjektif individu kemudian diikuti masyarakat, pemerintahan sejak awal dibangun atas objektif masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama.
Seiring berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia, bentuk pemerintahan pun ikut mengalami perubaahan. Setelah tumbangnya berbagai kerajaan besar, muncul pemerintahan baru yang mengadopsi nilai-nilai budaya setempat yang dinilai lebih sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat guna mencapai kesejahteraan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya idoelogi yang berkembang pada masa pertengahan seperti komunis, liberalis, kapitalis hingga sosialis yang menjadi pemikiran dasar masyarakat untuk membangun sebuah negara. Pada masa ini, pergerakan nilai-nilai serta penemuan-penemuan teknologi mempunyai pengaruh besar dalam proses perubahan negara-negara di dunia.
Salah satu bentuk pemerintahan yang banyak di adopsi oleh negara adalah konsep demokrasi. Konsep negara demokrasi pertama kali dikenalkan di Athena  pada tahun 508-507 SM dengan bapak demokrasinya yang terkenal bernama Cleisthenes. Menurut demokrasi, kekuasaan tertinggi sebuah negara dipegang oleh masyarakat. Oleh karena itu, kepentingan masyarakat menjadi poin tertinggi dari kebijakan yang dibuat.
Pemerintahan yang berlandaskan demokrasi menurut John Locke dalam Two Treatises of Government yang terbit pada tahun 1690 harus membagi beberapa fungsinya secara terpisah menjadi yang kita kenal sebagai trias politika. Dalam trias politika, kekuasaan atas masyarakat dibagai menjadi tiga lembaga pokok, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing – masing lembaga tadi berjalan berdampingan guna mencapai kepentingan bersama masyarakat yang dicita – citakan dalam konstitusi atau piagam.


Evolusi Demokrasi Indonesia
Bangsa indonesia, sebelum era kemerdekaan mengadopsi bentuk pemerintahan monarki yang berlangsung lama. Hal itu berubah sejak adanya revolusi industri di negara barat yang berdampak pada gerakan kolonialisme negara –negara barat terhadap negara-negara timur termasuk Indonesia. 
Setelah berbaurnya ideologi serta budaya kedua bangsa tersebut. Terjadi banyak perubahan nilai –nilai dalam masyarakat. Gaya modern negara-negara barat memaksa bangsa Indonesia mengikuti mereka dalam rangka mempertahankan keutuhan bangsa. Setelah sekian lama dalam belenggu penjajahan, Indonesia akhirnya merdeka dalam wadah pemerintahan baru berbentuk negara kesatuan dengan konsep-konsep modern yang banyak dipakai negara-negara lain pada waktu itu.
Dalam sejarah Indonesia, bentuk pemerintahan demokrasi yang diusung telah mengalami evaluasi dari waktu kewaktu hingga sekarang.  Pada awal berdirinya negara Indonesia yakni hari kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden yang dipilih secara sembunyi-sembunyi. Konstitusi juga dibuat atas dasar nilai luhur nusantara yang berbhineka tunggal ika. Dengan berlandaskan nafas nasionalis, demokrasi dengan gaya presidensial ini berjalan walaupun masih cacat karena belum memiliki lembaga yudikatif secara resmi. Dengan peran legislatif dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan eksekutif dari presiden, demokrasi ini hanya bertahan sampai 27 Desember 1949 karena datangnya sekutu yang menyebabkan pindahnya ibu kota negara pada waktu itu.
Saat terpojok sekutu dengan kekuatan militer berteknologi mutakhir, presiden akhirnya menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada menteri sebagai parlemen dan menandai dimulainya era demokrasi parlementer di Indonesia. Pada awalnya, gaya parlementer ini menggunakan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dihasilkan dari adanya Konferensi Meja Bundar dengan pemerintah Belanda. Namun, pada 15 Agustus 1950, bentuk parlementer ini disempurnakan ditandai dengan dipilihnya konstituante (anggota parlemen) secara demokratis dan diberlakukannya UUDS 1950 sebagai landasan konstitusi. Pada waktu itu, mengakhiri konflik dengan sebuah perjanjian atau konferensi umum dilakukan negara-negara di dunia.
Sistem perlementer ini pun tidak berjalan lama. Karena kegagalan konstituante membuat konstitusi baru, presiden mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang isinya membubarkan konstituante dan membentuk MPRS sebagai lembaga legislatif dan DPAS sebagai parlemen pengawas presiden. Selain itu, konstitusi juga kembali menggunakan UUD 1945. Demokrasi pada era ini dikenal dengan nama orde lama dimana presiden mempunyai kekuasaan hukum tinggi tanpa intimidasi dari DPAS.
Bentuk presidensial ini semakin melenceng saat digantikannya presiden Ir. Soekarno oleh Mayor Jendral Soeharto pada tahun 1966. Memulai era orde baru, presiden soeharto memegang penuh kendali kekuasaan. Karena kekuasaan presiden yang terlalu besar, fungsi legislatif MPRS dan fungsi pengawasan DPAS pun semakin hilang dan menghasilkan sebuah pemerintahan otoriter berkedok demokrasi presidensial. Pemerintahan otoriter bernada presidensial ini berlangsung hingga 32 tahun lamanya di Indonesia.
Dipelopori kebangkitan mahasiswa pada waktu itu, pemerintahan orde baru didesak untuk segera mundur. Hal ini pula yang menandai budaya demonstrasi pada waktu itu menyebar luas ke berbagai penjuru nusantara.
Setelah berakhirnya orde baru, demokrasi di Indonesia mengalamai banyak perbaikan yang disesuaikan dengan karakter serta kondisi bangsa indonesia yang majemuk. Kekuasaan presiden dipersempit dan dapat diberhentikan  oleh MPR selaku majelis tertinggi negara ketika presiden telah menyimpang dari konstitusi. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi independen yang bebas tanggung jawab dari presiden dan menteri. DPR disini berfungsi sebagai parlemen pengawas jalannya pemerintahan di Indonesia. Pada masa ini, partai politik menjamur dikalangan kelompok masyarakat yang nantinya akan menduduki kursi parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, independennya parlemen justru menimbulkan masalah baru yakni masalah korupsi besar-besaran di berbadai badan pemerintah. Sehingga, didirikanlah sebuah badan baru bernama KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pengawas seluruh badan pemerintahan dalam hal korupsi. Pada waktu ini, kekuasaan DPR juga dibagi menjadi dua (bikameral), dimana DPR mengawal di pusat pemerintahan dan DPRD yang mengawal di pemerintahan daerah – daerah Indoensia yang terbagi menjadi 34 provinsi. 
 Pemilu Terbuka Indonesia
Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilu terbuka pada 5 April 2004. Pada saat itu, masyarakat indonesia memilih secara langsung Presiden beserta Wakil Presiden Indonesia diikuti dengan 550 anggota DPR, 128 anggota DPD, dan anggota DPRD se Indonesia.   Hal ini didasari atas ketidak puasan beberapa pihak yang menganggap pemilu yang diserahkan pada lembaga legislatif tidak menghasilkan pemimpin yang  sesuai dengan kehendak masyarakat.
Dilain pihak, pada saat itu masyarakat dunia tengah diterjang dengan issue besar bernama globalisasi. Globalisasi merupakan sebuah pandangan tentang integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Selain itu, masyarakat indonesia yang dulu hanya menempuh pendidikan traditional telah banyak menempuh jalur pendidikan modern yang memberikan kesadaran nasional akan pentingnya pemilihan secara langung.
Perubahan –perubahan sosial budaya inilah yang mendorong terus berkembangnya proses demokrasi di Indonesia. Setiap perubahan yang terjadi biasanya diikuti dengan pro kontra dikalangan para ahli. Hal ini sebenarnya telah terjadi sejak awal berdirinya Negara Indonesia dimana terjadi perbedaan gagasan antara golongan muda dan golongan tua perihal wacana kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sampai tahun 2017, Indonesia telah melaksanakan 3 kali pemilu terbuka yakni pada tahun 2004, 2009 dan tahun 2014. Pemilu ini dilaksanakan secara serentak dengan membangun bilik-bilik pemilihan pada tingkat pemerintahan terkecil. Sistem seperti ini membutuhkan pendanaan yang besar setiap periodenya.

Era Digital dan Wacana E-Voting Pemilu
Bersamaan dengan maraknya teknologi 3G internet broadband serta smartphone pada tahun 2009 di Indonesia, banyak tren –tren baru berkembang di masyarakat. Kemudahan akses teknologi memicu antusiasme masyarakat serta pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya tersebut sebagai alternatif perbaikan diberbagai lini.
Berbagai sistem manual mulai berganti menjadi sistem berbasis komputer yang memiliki meunggulan dalam hal mobilitas serta effesiensi. Hal itu didorong oleh perubahan perilaku masyarakat yang memasuki era digital, dimana hal – hal yang berbau digital lebih diminiati karena disamping praktis juga memperbaiki banyak kekurangan dari sistem manual.
Belakangan banyak dinas-dinas pemerintah mulai mengadopsi sistem tersebut, dari mulai perpajakan, layanan pemerintah, pendataan sekolah dan lain sebagainya. Bahkan yang menjadi perbincangan panas mengenai Ujian Nasional berbasis Komputer yang mulai diberlakukan pemerintah sejak tahun 2016. Tidak ubahnya tentang konsep pemilu terbuka yang memulai wacana tentang e-voting.
E-voting secara harfiah dapat dikatakan sebagai metode pemilihan dengan menggunakan program komputer secara realtime serta dikomputasi secara terpusat di server-server pemilihan. Sistem ini dapat melalukan perhitungan secara cepat disertai dengan report analisis yang langsung dapat diperoleh tergantung dengan alur program yang dikehendaki. Namun, karena segala sesuatunya dilakukan secara digital, ada proses-proses yang kemudian tidak dapat diamati oleh masyarakat. Seperti halnya proses perhitungan suara yang biasanya dilakukan secara manual yang disaksikan masyarakat berganti menjadi perhitungan otomatis program komputer yang tidak mudah untuk dianalisa apakah sesuai atau justru terjadi penyimpangan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) selaku pihak yang menyatakan siap melaksanakan e-voting, melalui ketunya Hammam Riza dilansir oleh media kompas mengatakan bahwa pelaksanaan e-voting ini berdasarkan UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Secara teknisnya, e-voting ini memberlakukan sistem semacam pemindai kartu seperti teknologi ATM untuk mengantisipasi adanya kecurangan.
Perubahan –perubahan proses demokrasi ini sejatinya adalah upaya masyarakat untuk mewujdukan negara demokrasi yang benar-benar berdasarkan atas UUD 1945 dan pancasila yang menajdi cita-cita luhur bangsa indonesia. Terlepas dari adanya pro kontra yang mungkin terjadi dengan adanya perubahan-perubahan sistem, kita dan semua pihak perlu sama –sama mengkaji, bukan untuk saling menyalahkan akan tetapi saling memberi masukan sehingga perubahan atau apa yang akan dicanangkan tersebut benar-benar matang dan meberikan kemaslahatan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar