Pengaruh
Dinamika Budaya Dan Teknologi Pada Evolusi Demokrasi di Indonesia
Oleh
: Khaerul Anam
Agama, Budaya dan pemerintahan
merupakan tiga elemen yang menentukan pola kehidupan manusia secara dasar. Ketiga elemen tersebut
terbentuk secara alami sebagai fitrah atau pemberian Tuhan yang terwujud dalam
ideologi dan kreasi manusia dari zaman ke zaman. Berdasarkan sejumlah redaksi
yang beredar, terdapat berbagai macam versi tentang awal mula sejarah umat
manusia. Salah satu sumber yang populer mengatakan bahwa manusia pertama adalah
seseorang bernama Adam. Yang setelahnya, mulai terbentuk ketiga elemen tadi
pada bentuk yang paling sederhana.
Agama dalam kamus besar bahasa
Indonesia diartikan sebagai sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Dari situ dapat ditarik
kesimpulan bahwa agama merupakan aturan bersumber keyakinan yang memiliki ruang
lingkup paling sempit. Agama mengajarkan aturan – aturan dasar kehidupan
manusia sebagai makhluk berakal dan memiliki kesadaran (consciousness). Pada
titik ini, manusia menjadi makhluk yang paling unggul di muka bumi, sehingga
dalam pola kehidupannya pun manusia mengalami perkembangan yang berbanding
lurus dengan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan yang dimilikinya. Kesadaran
ini pula yang akhirnya menuntun manusia menciptakan berbagai macam kreasi dalam
berbagai bentuk yang secara bertahap menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi
budaya (culture) bagi manusia lain.
Selain agama yang mengatur hubungan vertikal manusia, dibutuhkan pula aturan yang mengatur kehidupan antar manusia sebagai individu. Salah satu aturan tersebut tertuang dalam bentuk budaya yang dianut sekelompok manusia yang disebut masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor bahwa “Budaya ialah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat”. Sehingga secara alamiah budaya mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah kesepakatan tidak tertulis yang dikenal sebagai norma. Selain itu, budaya juga berperan dalam pembentukan pola kehidupan manusia yang berubah dari waktu ke waktu dan tercatat sejarah melalui peninggalan bukti – bukti peradaban.
Selain agama yang mengatur hubungan vertikal manusia, dibutuhkan pula aturan yang mengatur kehidupan antar manusia sebagai individu. Salah satu aturan tersebut tertuang dalam bentuk budaya yang dianut sekelompok manusia yang disebut masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor bahwa “Budaya ialah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat”. Sehingga secara alamiah budaya mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah kesepakatan tidak tertulis yang dikenal sebagai norma. Selain itu, budaya juga berperan dalam pembentukan pola kehidupan manusia yang berubah dari waktu ke waktu dan tercatat sejarah melalui peninggalan bukti – bukti peradaban.
Membahas budaya dari sisi aturan
masyarakat, budaya masih memiliki banyak kekurangan dalam menjamin tersedianya
keamanan dan ketentraman masyarakat yang lebih luas dalam wadah negara. Saat
masyarakat dari berbagai kebudayaan dan agama yang berbeda berkumpul menjadi
satu masyarakat baru, seringkali timbul konflik – konflik kepentingan yang perlu
di selesaikan melalui aturan baru yang lebih modern. Disinilah lahir benih –
benih pemerintahan awal dengan konsep monarki. Pemerintahan monarki ini
memadukan bentuk pemerintahan dengan aturan agama dalam langkahnya memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat yang bernanung dibawah kekuasaannya.
Menurut H. A. Brasz pemerintahan merupakan
ilmu yang mempelajari teknis atau pun cara lembaga umum disusun dan difungsikan
dengan baik secara intern dan ekstern terhadap warga negaranya. Berbeda dengan budaya yang berawal dari
subjektif individu kemudian diikuti masyarakat, pemerintahan sejak awal
dibangun atas objektif masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama.
Seiring berkembangnya kebudayaan dan
peradaban manusia, bentuk pemerintahan pun ikut mengalami perubaahan. Setelah
tumbangnya berbagai kerajaan besar, muncul pemerintahan baru yang mengadopsi
nilai-nilai budaya setempat yang dinilai lebih sesuai dengan nilai-nilai dalam
masyarakat guna mencapai kesejahteraan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya
idoelogi yang berkembang pada masa pertengahan seperti komunis, liberalis, kapitalis
hingga sosialis yang menjadi pemikiran dasar masyarakat untuk membangun sebuah
negara. Pada masa ini, pergerakan nilai-nilai serta penemuan-penemuan teknologi
mempunyai pengaruh besar dalam proses perubahan negara-negara di dunia.
Salah satu bentuk pemerintahan yang
banyak di adopsi oleh negara adalah konsep demokrasi. Konsep negara demokrasi
pertama kali dikenalkan di Athena pada
tahun 508-507 SM dengan bapak demokrasinya yang terkenal bernama Cleisthenes.
Menurut demokrasi, kekuasaan tertinggi sebuah negara dipegang oleh masyarakat.
Oleh karena itu, kepentingan masyarakat menjadi poin tertinggi dari kebijakan
yang dibuat.
Pemerintahan yang berlandaskan demokrasi
menurut John Locke dalam Two
Treatises of Government yang
terbit pada tahun 1690 harus membagi beberapa fungsinya secara terpisah menjadi yang kita kenal sebagai
trias politika. Dalam trias politika, kekuasaan atas masyarakat dibagai menjadi
tiga lembaga pokok, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing – masing
lembaga tadi berjalan berdampingan guna mencapai kepentingan bersama masyarakat
yang dicita – citakan dalam konstitusi atau piagam.
Evolusi Demokrasi Indonesia
Bangsa indonesia, sebelum era
kemerdekaan mengadopsi bentuk pemerintahan monarki yang berlangsung lama. Hal
itu berubah sejak adanya revolusi industri di negara barat yang berdampak pada
gerakan kolonialisme negara –negara barat terhadap negara-negara timur termasuk
Indonesia.
Setelah berbaurnya ideologi serta
budaya kedua bangsa tersebut. Terjadi banyak perubahan nilai –nilai dalam
masyarakat. Gaya modern negara-negara barat memaksa bangsa Indonesia mengikuti
mereka dalam rangka mempertahankan keutuhan bangsa. Setelah sekian lama dalam
belenggu penjajahan, Indonesia akhirnya merdeka dalam wadah pemerintahan baru
berbentuk negara kesatuan dengan konsep-konsep modern yang banyak dipakai
negara-negara lain pada waktu itu.
Dalam sejarah Indonesia, bentuk
pemerintahan demokrasi yang diusung telah mengalami evaluasi dari waktu kewaktu
hingga sekarang. Pada awal berdirinya
negara Indonesia yakni hari kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki
presiden dan wakil presiden yang dipilih secara sembunyi-sembunyi. Konstitusi
juga dibuat atas dasar nilai luhur nusantara yang berbhineka tunggal ika.
Dengan berlandaskan nafas nasionalis, demokrasi dengan gaya presidensial ini berjalan
walaupun masih cacat karena belum memiliki lembaga yudikatif secara resmi.
Dengan peran legislatif dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
eksekutif dari presiden, demokrasi ini hanya bertahan sampai 27 Desember 1949
karena datangnya sekutu yang menyebabkan pindahnya ibu kota negara pada waktu
itu.
Saat terpojok sekutu dengan kekuatan
militer berteknologi mutakhir, presiden akhirnya menyerahkan kekuasaan
eksekutif kepada menteri sebagai parlemen dan menandai dimulainya era demokrasi
parlementer di Indonesia. Pada awalnya, gaya parlementer ini menggunakan
konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dihasilkan dari adanya
Konferensi Meja Bundar dengan pemerintah Belanda. Namun, pada 15 Agustus 1950,
bentuk parlementer ini disempurnakan ditandai dengan dipilihnya konstituante
(anggota parlemen) secara demokratis dan diberlakukannya UUDS 1950 sebagai
landasan konstitusi. Pada waktu itu, mengakhiri konflik dengan sebuah
perjanjian atau konferensi umum dilakukan negara-negara di dunia.
Sistem perlementer ini pun tidak
berjalan lama. Karena kegagalan konstituante membuat konstitusi baru, presiden
mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang isinya membubarkan konstituante dan
membentuk MPRS sebagai lembaga legislatif dan DPAS sebagai parlemen pengawas
presiden. Selain itu, konstitusi juga kembali menggunakan UUD 1945. Demokrasi
pada era ini dikenal dengan nama orde lama dimana presiden mempunyai kekuasaan
hukum tinggi tanpa intimidasi dari DPAS.
Bentuk presidensial ini semakin
melenceng saat digantikannya presiden Ir. Soekarno oleh Mayor Jendral Soeharto
pada tahun 1966. Memulai era orde baru, presiden soeharto memegang penuh
kendali kekuasaan. Karena kekuasaan presiden yang terlalu besar, fungsi
legislatif MPRS dan fungsi pengawasan DPAS pun semakin hilang dan menghasilkan
sebuah pemerintahan otoriter berkedok demokrasi presidensial. Pemerintahan
otoriter bernada presidensial ini berlangsung hingga 32 tahun lamanya di
Indonesia.
Dipelopori kebangkitan mahasiswa pada
waktu itu, pemerintahan orde baru didesak untuk segera mundur. Hal ini pula
yang menandai budaya demonstrasi pada waktu itu menyebar luas ke berbagai
penjuru nusantara.
Setelah berakhirnya orde baru,
demokrasi di Indonesia mengalamai banyak perbaikan yang disesuaikan dengan
karakter serta kondisi bangsa indonesia yang majemuk. Kekuasaan presiden
dipersempit dan dapat diberhentikan oleh
MPR selaku majelis tertinggi negara ketika presiden telah menyimpang dari
konstitusi. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi independen yang
bebas tanggung jawab dari presiden dan menteri. DPR disini berfungsi sebagai
parlemen pengawas jalannya pemerintahan di Indonesia. Pada masa ini, partai
politik menjamur dikalangan kelompok masyarakat yang nantinya akan menduduki
kursi parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, independennya parlemen justru
menimbulkan masalah baru yakni masalah korupsi besar-besaran di berbadai badan
pemerintah. Sehingga, didirikanlah sebuah badan baru bernama KPK atau Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai pengawas seluruh badan pemerintahan dalam hal
korupsi. Pada waktu ini, kekuasaan DPR juga dibagi menjadi dua (bikameral), dimana
DPR mengawal di pusat pemerintahan dan DPRD yang mengawal di pemerintahan
daerah – daerah Indoensia yang terbagi menjadi 34 provinsi.
Pemilu Terbuka Indonesia
Pemilu Terbuka Indonesia
Indonesia pertama kali
menyelenggarakan pemilu terbuka pada 5 April 2004. Pada saat itu, masyarakat indonesia memilih secara
langsung Presiden beserta Wakil Presiden Indonesia diikuti dengan 550 anggota DPR, 128 anggota DPD, dan anggota DPRD se Indonesia. Hal ini didasari atas ketidak
puasan beberapa pihak yang menganggap pemilu yang diserahkan pada lembaga
legislatif tidak menghasilkan pemimpin yang
sesuai dengan kehendak masyarakat.
Dilain pihak, pada saat itu masyarakat
dunia tengah diterjang dengan issue besar bernama globalisasi. Globalisasi
merupakan sebuah pandangan tentang integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Selain itu, masyarakat indonesia
yang dulu hanya menempuh pendidikan traditional telah banyak menempuh jalur
pendidikan modern yang memberikan kesadaran nasional akan pentingnya pemilihan
secara langung.
Perubahan –perubahan
sosial budaya inilah yang mendorong terus berkembangnya proses demokrasi di
Indonesia. Setiap perubahan yang terjadi biasanya diikuti dengan pro kontra dikalangan
para ahli. Hal ini sebenarnya telah terjadi sejak awal berdirinya Negara
Indonesia dimana terjadi perbedaan gagasan antara golongan muda dan golongan
tua perihal wacana kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sampai tahun 2017, Indonesia
telah melaksanakan 3 kali pemilu terbuka yakni pada tahun 2004, 2009 dan tahun
2014. Pemilu ini dilaksanakan secara serentak dengan membangun bilik-bilik
pemilihan pada tingkat pemerintahan terkecil. Sistem seperti ini membutuhkan
pendanaan yang besar setiap periodenya.
Era Digital dan Wacana
E-Voting Pemilu
Bersamaan dengan
maraknya teknologi 3G internet broadband serta smartphone pada tahun 2009 di
Indonesia, banyak tren –tren baru berkembang di masyarakat. Kemudahan akses
teknologi memicu antusiasme masyarakat serta pemerintah dalam memanfaatkan
sumber daya tersebut sebagai alternatif perbaikan diberbagai lini.
Berbagai sistem manual
mulai berganti menjadi sistem berbasis komputer yang memiliki meunggulan dalam
hal mobilitas serta effesiensi. Hal itu didorong oleh perubahan perilaku
masyarakat yang memasuki era digital, dimana hal – hal yang berbau digital
lebih diminiati karena disamping praktis juga memperbaiki banyak kekurangan
dari sistem manual.
Belakangan banyak dinas-dinas
pemerintah mulai mengadopsi sistem tersebut, dari mulai perpajakan, layanan
pemerintah, pendataan sekolah dan lain sebagainya. Bahkan yang menjadi
perbincangan panas mengenai Ujian Nasional berbasis Komputer yang mulai
diberlakukan pemerintah sejak tahun 2016. Tidak ubahnya tentang konsep pemilu
terbuka yang memulai wacana tentang e-voting.
E-voting secara harfiah dapat
dikatakan sebagai metode pemilihan dengan menggunakan program komputer secara
realtime serta dikomputasi secara terpusat di server-server pemilihan. Sistem
ini dapat melalukan perhitungan secara cepat disertai dengan report analisis
yang langsung dapat diperoleh tergantung dengan alur program yang dikehendaki.
Namun, karena segala sesuatunya dilakukan secara digital, ada proses-proses
yang kemudian tidak dapat diamati oleh masyarakat. Seperti halnya proses
perhitungan suara yang biasanya dilakukan secara manual yang disaksikan
masyarakat berganti menjadi perhitungan otomatis program komputer yang tidak
mudah untuk dianalisa apakah sesuai atau justru terjadi penyimpangan.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) selaku pihak yang menyatakan siap
melaksanakan e-voting, melalui ketunya Hammam Riza dilansir oleh media kompas mengatakan bahwa pelaksanaan
e-voting ini berdasarkan UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). Secara teknisnya, e-voting ini memberlakukan
sistem semacam pemindai kartu seperti teknologi ATM untuk mengantisipasi adanya
kecurangan.
Perubahan –perubahan proses demokrasi
ini sejatinya adalah upaya masyarakat untuk mewujdukan negara demokrasi yang
benar-benar berdasarkan atas UUD 1945 dan pancasila yang menajdi cita-cita
luhur bangsa indonesia. Terlepas dari adanya pro kontra yang mungkin terjadi
dengan adanya perubahan-perubahan sistem, kita dan semua pihak perlu sama –sama
mengkaji, bukan untuk saling menyalahkan akan tetapi saling memberi masukan
sehingga perubahan atau apa yang akan dicanangkan tersebut benar-benar matang
dan meberikan kemaslahatan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar